Asuransi Syari’ah, Negosiasi Takdir Tuhan

26 September 2022

Asuransi Syari’ah, Negosiasi Takdir Tuhan

Oleh: Siti Khotijah 

Islam sebagai rahmatallil ‘alamiin tidak pernah meninggalkan umatnya dalam kebimbangan maupun kesengsaraan.Menyoal asuransi, masyarakat sudah lama mengenal asuransi sebagai lembaga yang mengatasnamakan kepedulian dan perlindungan terhadap sesama.

Apakah asuransi bertentangan dengan takdir menjadi salah satu pembahasan dalam beberapa buku berjudulkan asuransi. Munurut Abdul Manan (2014) perbedaan pendapat itu muncul diakibatkan oleh kurangnya sosialisasi kepada masyarakat, sehingga perhatian masyarakat terhadap keberadaan lembaga asuransi sangat minim. Hal ini menyebabkan sempitnya pemikiran masyarakat dalam menilai lembaga asuransi. Ada anggapan bahwa asuransi mendahului dan bertentangan dengan takdir Allah swt, ikut serta dalam asuransi, terutama asuransi jiwa sejatinya ialah menggadaikan jiwanya, kemudian akan menghilangkan tawakkal kepada Allah swt.Pandangan tersebut disandarkan pada Q.S. Al-Hadiid ayat 22:

مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا ۚ

“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi ini dan tidak pula pada diri kalian sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (lauhul mahfudzh) sebelum kami menciptakannya.

Selain ayat tersebut terdapat hadist yang dijadikan landasan:

“Sesungguhnya penciptaan salah seorang di antara kalian berkumpul di dalam Rahim ibunya selama empat puluh hari, kemudian menjadi segumpal darah seperti itu. Kemudian menjadi segumpal daging. Kemudian diutus kepadanya malaikat yang diperintahkan empath al, lalu ditetapkan baginya rizki, ajal, dan amalnya. Apakah akan sengsara atau bahagia.”[1]

Takdir menjadi penting karena merupakan tambeng keimanan yang ditetapkan oleh Rasulullah saw. Dalam Al-Qur’an kita dapat temukan kata Qodir yang berasal dari kata qudrah yang bermakna kemampuan, kekuasaan, dan kekuatan yang sempurna, maka ketika Allah memilki nama Qodir ini menunjukkan bahwa Allah memiliki kemampuan yang sempurna, kekuatan dan kekuasaan. Sedangkan takdir dalam istilah islam sering diartikan sebagai ketentuan dan ketetapan sesuatu. Aceng Zakaria menhebut takdir menurut Ibn Uthaymin ialah segala ketentuan Allah yang telah ditetapkan di alam azali (sejak dahulu) yang akan terjadi pada makhluk-Nya.

Pendapat bahwa asuransi tidak bertentangan dengan takdir didasarkan pada Nash Qur’an dan Hadist, seperti Q.S. At-Taghabun ayat 11: “Tidak ada sesuatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah”.  Dalam Qur’an Surah Al-Hasyr ayat 18 dijelaskan betapa harusnya perencanaan yang teliti dan matang itu dibuat, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap hari memperhatikan apa yang telah diperbuat untuk hari esok (masa depan). Dan, bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

Dalam sejarah terlukis sebuah kisah inspirasi mengenai kehati-hatian dan perencanaan hari esok, yang mana dilakukan oleh kholifah Umar bin Khattab yang melarang sahabatnya memasuki sebuah kampung yang tengah terjangkit penyakit menular, pelarangan tersebut dimaksudkan agar sahabat tersebut tidak tertular. dalam sebuah kisah lain Rasulullah saw pernah menyuruh seorang sahabat untuk mengikat untanya terlebih dahulu sebelum masuk masjid, setelah melakukan hal tersebut barulah bertawakal, terdapat sebuah pesan yang indah yakni agar seseorang melakukan suatu hal dengan sungguh-sungguh (ikhtiyar) terlebih dahulu sebelum akhirnya memasraahkan segala keputusan kepada sang Khaliq (tawakkal).

Dalil-dalil dan sejarah di atas mengisyaratkan agar kita mempersiapkan diri, termasuk mempersiapkan segala resiko yang mungkin akan ditanggung di masa depan. Asuransi Syari’ah sebagai lembaga yang diperbolehkan oleh MUI yang bergerak pada keuangan non riba, tidak mengandung maisir dan gharar bisa menjadi alternative untuk menyisihkan harta untuk masa depan. Sehingga apabila takdir yakni ajalnya telah sampai, seorang kepala keluarga atau tulang punggung keluaarga tidak meninggalkan keluarganya dalam keadaan susah dan sengsara.

Allah berfirman dalam Surah An-Nisa ayat 9:

وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-oramg yang meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatirkan terhadap kesejahteraan mereka, oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perktaan yang benar” (Q.S. An-Nisa: 9).

Quraish Shihab dalam tafsirnya menjelaskan kata (وليخش الذين) bermakna hendaklah tidak membuat terbengkalai, hendaklah mereka membayangkan (لوتركوا) seandainya mereka akan (من خلفهم) meninggalkan di belakang mereka, yakni kematian mereka (ذرية ضعفا) anak-anak yang lemah, karena tidak memiliki harta atau masih kecil (خافواعليهم) yang dikhawatirkan kesejahteraannya dan ditakutkan menganiaya, hendaklah mereka takut kepada Allah, atau keadaan anak-anak mereka di masa depan (فليتقواللهوليقولواقولاسديدا) oleh sebab itu, maka hendaknya mereka bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan sekuat kemampuan seluruh perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dan mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.

Asuransi Islam yang bernuansa sosial dengan aspek saling tolong menolong (ta’awun), saling menanggung (takaful) yang dimaknai dengan jaminan bersama yang disediakan kelompok terhadap bencana atau resiko yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga, ada beberapa yang menggunakan kata tadhammun yang bermakna tanggung jawab social bersama, yang beruhkan ketauhidan, prinsip adil dalam mu’amalah, amanah, ridho, dan mashlahah sejalan dengan kebutuhan kaum muslimin masa sekarang dalam memanimalisir kerugian di masa depan.

Kebolehan asuransi syari’ah didukung oleh beberapa tokoh Islam, antara laian: Pertama, Syaikh Abdur Rahman Isa. Seorang guru besar Universitas Al-Azhar dengan tegas menyatakan bahwa asuransi merupakan praktik muamalah dengan perjanjian al-ji’alah memberi upah dimana perusahaan dan nasabah saling mengikat atas dasar saling meridhoi suka sama suka. Kedua, Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa, Guru besar Universitas Kairo mengatakan bahwa asuransi bagaimana bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat.

Ketiga, Syekh Abdul Wahhab Khallaf, Guru besar Hukum Islam Universitas kairo menyatakan bahwa asuransi diperbolehkan karena merupakan akad mudhorobah, dalam syari’at islam ialah perjanjian persekutuan dalam keuntungan dengan modal diberikan oleh satu pihak dan dikelola oleh pihaklain. Kelima, Ustad Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Negeri Mesir. Beliau berpendapat bahwa tujuan asuransi adalah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian serta memelihara harta nasabah.

Keikutsertaan dalam asuransi Syari’ah berarti memperkecil resiko yang mungkin terjadi kepada keluarga apabila sesuatu menimpa kepala keluarga, dalam kasus di masyarakat sering kita melihat seorang janda yang masih memiliki balita atau anak kecil yang hidup sukar setelah kepergian suami sebagai tulang punggung keluarga yang mana nafkah anaknya tidak ditanggung oleh keluarga almarhum suami, kisah pilu ini tidak hanya dijumpai pada sinetron yang tayang di televisi anda, tetapi ada disekitar kita. Adapun para tetangga hanya membantu ala kadarnya, dengan ikut kepada lembaga asuransi syari’ah setidaknya seseorang memiliki bekal atau tabungan untuk masa depan keluarganya kelak jika suatu hal terjadi padanya, suatu bentuk usaha perlindungan kepada keluarganya sebagaimana yang difirmankan Allah dalam Q.S. An-Nisa ayat 9 yang telah dijelaskan.Negoisasi dengan takdir mewakilkan kata mengapa kita diperbolehkan dan disarankan agar ikut serta dalam lembaga keuangan asuransi syari’ah. Dalil-dalil kebolehannya telah dipaparkan sebelumnya, perencanaan yang tepat dan teliti dapat membantu seseorang dikemudian hari serta memanimalisir sekecil mungkin resiko di masa depan

Dari pemaparan diatas bahwasanya bila asuransi tidak bertentangan dengan Qada Qadar. dan Allah menganjurkan adanya Upaya seorang manusia untuk menuju perencanaan masa depan.Menanggapi pernyataan dalil-dalil bahwa asuransi bertentangan dengan takdir, maka komentar Ibnul qayyim Al jauziyah dalam kitabnya jika qada dan qadar itu sudah ditetapkan lebih awal dari penciptaan makhluk ini, maka usaha dan amal perbuatan seseorang itu tidak ada lagi manfaat dan faedah.

 

[1]Syakir Sula, Asuransi Syari’ah Life and General. Hal. 92

 

We use cookies to improve our website. Cookies used for the essential operation of this site have already been set. For more information visit our Cookie policy. I accept cookies from this site. Agree