Sejarah Awal Tafsir Pesantren

19 Oktober 2017

SEJARAH AWAL TAFSIR PESANTREN

Oleh : Kurdi Fadal, M.S.I 

Kemunculan tafsir di dunia pesantren tidak bisa dilepaskan dari karya-karya tafsir yang populer di Timur Tengah khususnya Haramain (Mekah dan Madinah). Daerah yang menjadi tempat kemunculan Islam ini sebagai pusat belajar ilmu-ilmu keislaman sehingga dari sana lahir pada ulama yang berhasil melahirkan karya-karya keislaman. Sejak beberapa abad sebelumnya, banyak kader Muslim Indonesia yang belajar dari para ulama di sana. Mereka mempelajari berbagai bidang ilmu keislaman mulai dari fikih, tasawuf, nahwu dan sharraf, ilmu al-Qur'an dan ilmu tafsir, Hadis dan ulumul Hadis, serta ilmu-ilmu turats Islam lainnya. Melalui penerbitan dan pencetakan atas karya-karya keislaman, segudang karya dapat dengan mudah diakses. Faktor tersebut juga melahirkan hubungan keulamaan dapat tersebar luas sekaligus memberikan dampak pada otoritas keagamaan di kalangan umat Islam secara menyeluruh. Beberapa ulama Jawi-Nusantara juga ikut berperan dalam meneguhkan identitas ini.[1]

Sederet nama ulama nusantara juga memiliki pengaruh besar bagi tradisi keulamaan di Tanah Suci. Dalam kitab Imta' Uliy al-Nazhar bi Ba'dh A'yan al-Qarn al-Rabi' 'Asyr disebutkan, para tokoh tersebut di antaranya adalah Ahmad Marzuki bin Ahmad Mirshad al-Batawi (1293-1353 H), Baqir bin Nur al-Jugjawi al-Makkin (1306-1367 H), Baidhawi bin Abdul Aziz al-Lasami (w. 1390 H), Jami' bin Abdul Rasyd al-Rifa'i al-Buqisi (1255-1361 H), dan Syekh Nawawi al-Bantani (1230 H-1314 H /1813-1897 M).

Secara intelektual, Syekh Nawawi adalah tokoh nusantara yang paling dikenal karena memiliki banyak karya dalam berbagai bidang ilmu keislaman. Ulama yang hafal Alquran sejak usia 18 tahun ini menguasai hampir seluruh cabang ilmu agama, seperti ilmu tafsir, ilmu tauhid, fikih, akhlak, tarikh, dan bahasa Arab. Kemasyhuran dan keluasan ilmunya menggugah dunia Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, dan Suriah untuk memberikan kehormatan baginya. Di sana dia mendapat julukan Sayid Ulama al-Hedzjaz, Mufti, dan Fakih.

Syekh Nawawi merupakan tokoh penting dalam konstelasi intelektual ulama nusantara. Banyak karya lahir dari kecerdasan dan kealimannya, termasuk dalam bidang tafsir. Karyanya dalam bidang ini adalah Marah Labid li kasyf Ma'na al-Qur'an al-Majid atau juga dikenal dengan Tafsir al-Munir,[2] yang  pertama kali diterbitkan di Mekah pada 1880.[3] Karya yang ditulis dalam bahasa Arab ini banyak merujuk pada kitab-kitab tafsir pendahulunya. Syekh Nawawi secara tegas menuturkan bahwa kitab tafsirnya banyak merujuk pada kitab-kitab tafsir sebelumnya, yakni al-Futuhat al-Ilahiyyah; Mafatih al-Ghaib karya al-Razi (w. 606 H);[4] al-Siraj al-Munir[5] karya Syams al-Din al-Syarbini (w. 977 H), diterbitkan di Mesir pada tahun 1285 H; Tanwir al-Miqbas fi Tafsir Ibn 'Abbas (yang dinisbatkan kepada sahabat Ibnu 'Abbas), dan Tafsir Abu al-Su'ud yang berjudul asli Irsyad al-'Aql al-Salim Ila Mazaya al-Kitab al-Karim, dikarang Abu al-Su'ud (w. 982 H), sebagaimana ditegaskannya di bagian awal kitab tafsirnya tersebut.[6]

Beberapa ulama terkemuka pernah menjadi guru Syekh Nawawi. Saat di Haramain, di usia 15 tahun ketika ia pergi menunaikan ibadah haji dan kemudian bermukim di Mekah selama tiga tahun, ia belajar kepada para ulama Masjidil Haram. Tercatat beberapa guru Syekh Nawawi seperti Syekh Ahmad Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, dan Syekh Ahmad Zaini Dahlan. Di Madinah ia belajar di bawah bimbingan Syekh Muhammad Khathib al-Hanbali.[7] Dalam catatan sejarah, di Mekah ia juga pernah mendalami ilmu agama dari Syekh Muhammad Khatib Sambas, Syekh Abdul Gani Bima, Syekh Yusuf Sumulaweni, dan Syekh Abdul Hamid Dagastani.[8]

Saat berada di Mekah, Syekh Nawawi banyak membimbing murid-muridnya yang berasal dari Indonesia, seperti KH. Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, Kiai Kholil Bangkalan, Kiai Asy’ari Bawean, Kiai Najihun, Kiai Asnawi (Caringin Pandeglang Banten), Kiai Ali Basa (Sunga Kesemen Banten), Kiai Ilyas (Teras), Kiai Ahmad Syatibi, Kiai Ahmad Kurtubi, Kiai Nawawi (Ciajak Cianjur), Kiai Tubagus Bakri (Sempur Purwokerto), Kiai Abdul Gofar (Lempuyang Tirtayasa Banten).[9] Mereka adalah para kiai dan intelektual Muslim Indonesia yang memegang peranan penting bagi perkembangan keilmuwan di pesantren sebab mereka adalah para pengasuh dan pemimpin pesantren yang mengajarkan ilmunya kepada para santri dan masyarakat sekitar pesantren.

 


[1] Sunarwoto, , "The Influences of Meccan Education on the Pesantren Tradition with Special References to Syaikh 'Abd al-Hamid Kudus", Jurnal Studia Islamika, Vol. 15. No. 3, 2008, hlm. 473-74.
[2] Dua judul ini terpampang di cover versi terbitan Toha Putra Semarang Indonesia. Namun, dalam kata pengantarnya Syekh Nawawi menyebutkan nama tafsirnya dengan Marāh Labīd li Kasyfi al-Ma’nā al-Qur’ān al-Majīd (halaman pendahuluan), sehingga nama inilah yang bisa diyakini sebagai nama asli dari kitab tafsirnya. Iskandar, Penafsiran Sufsitik Surat Al-Fatihah dalam Tafsir Taj al-Muslimin dan Tafsir al-Iklil Karya Misbah Mustafa, Jurnal Fenomena,  Volume 7 No. 2 2015, hlm. 185. Penamaan al-Munīr ditengarai sebagai bentuk harapan bagi diskursus keislaman yang tengah bergeliat pada saat itu sekaligus bentuk pembaruan studi keislaman khususnya bidang tafsir Alqur’an oleh penulisnya untuk dunia Islam. Syihabuddin, Karakteristik Tafsir Marah Labid, Pusat Penelitian Departemen Agama RI IAIN Lampung, 2004, hlm. 65.
[3] Namun dalam literatur lain disebutkan bahwa karya ini pertama kali diterbitkan pada 1887 M.  Syihabuddin, Karakteristik Tafsir Marah Labid, hlm. 65.
[4] Kitab yang juga dikenal dengan nama al-Tafsir al-Kabir ini dicetak ketiga kalinya di penerbit Dar Ihya al-Turats al-'Arabiy, Beirut Mesir pada tahun 1420 H. 
[5] Judul lengkap kitab ini adalah al-Siraj al-Munir fi al-I'anah 'ala Ma'rifah Ba'dh Ma'ani Kalam  Rabbina al-Hakim al-Khabir.
[6]  Al-Nawawi>, Mara>h Labi>d, (Beiru>t: Da>r al-Kutub al-Ilmiyyah, 1417 H.), hlm. 2
[7] Dewan Redaksi, Ensiklopedia Islam, hlm. 23-24.
[8] Ibid., hlm. 24.
[9]  Lihat Syihabudin, Karakteristik Tafsir Marāh Labīd,  hlm. 59. Melalui murid-murid yang kelak menjadi tokoh penting di Indonesia, Syekh Nawawi terus memantau perkembangan politik tanah air dan menyumbangkan ide-ide dan pemikirannya untuk kemajuan masyarakat Indonesia. Aktivitas pengajian dan perkumpulan tersebut dikenal dengan Koloni Jawa. Lihat Tim Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Rofindo, 1988), hlm. 24.
 
We use cookies to improve our website. Cookies used for the essential operation of this site have already been set. For more information visit our Cookie policy. I accept cookies from this site. Agree